Friday, June 26, 2015

Setipis udara

Jika seseorang berada dalam keadaan antara hidup dan mati dan jaraknya tersebut setipis udara, apakah yang ada dalam benak mereka?
Diibaratkan seseorang berdiam diantara daratan dan udara yaitu jurang. Tidak artinya seseorang bermaksud untuk mengakhiri hidupnya atau juga ketika seseorang menemukan ajalnya akan berakhir tetapi ini kiasan yang menggambarkan hidup seseorang itu demikian.

Dalam keadaan dan kondisi berada di tepian jurang kemudian tiba-tiba di depan jatuhlah sebuah pesawat terbang yang menghantam tebing dan masuk ke jurang itu. Seseorang ini sudah tidak berdaya baik secara fisik dan pikirannya. Dia seolah merasakan hidup dengan kenyataan namun juga dia merasakan nyawanya sudah berada di tempat yang berbeda. Normalnya dia akan terkejut dan merasakan betapa ngeri nya kejadian pesawat tersebut. Penderitaan, jeritan, tangisan penumpang yang bisa dibayangkan memekikan telinga. Sungguh tragis apa yang dilihatnya. 
Mungkin dia akan mengambil suatu hikmah bahwa betapa berharganya hidup ini. Akankah dia menarik diri dari ujung jurang? 
Hidup diantara itu tidaklah semudah yang dilihat. Disatu sisi kekuatan yang tersisa adalah harapan dan disisi satunya adalah takdir. Ditengahnya ada satu ruang kosong. Ternyata walau ada perbandingan nyata terjadi di depannya, tiada emosi, tiada kekuatan selain meratap reruntuhan pesawat itu. Ada sebuah kesabaran dan keikhlasan untuk bisa memahami antara hidup dan mati dengan pasrah bahwa itulah yang dia rasakan.  
Beranjaklah dia menghampiri puing-puing pesawat tersebut dan sebisanya mencari korban-korban yang masih hidup. Satu demi satu dilihatnya dan ternyata hanya satu orang tersisa masih hidup dan utuh. Ditariknya orang tersebut dan diberikannya jaket untuk menutupi badannya yang saat itu cuacanya dingin. Direbahkannya si orang tersebut dan dibasuhnya dengan kain dan air sungai luka pada sekujur tubuhnya. Dan dia pun tidak berucap kata apapun hingga terakhir memberinya air minum dari air sungai yang jernih.
Bibirnya yang kering membuat sulit membuka mulutnya. Dia tahu bahwa tidak hanya secara fisik terluka namun yang lebih hebat terguncang adalah jiwanya. Dengan sabar di angkat sedikit kepalanya untuk diberikan air secara sedikit-sedikit.  Matanya masih tampat tertutup rapat namun begitu basah dan lembab. Kemudian dengan kayu-kayu seadanya dibuatlah api unggun untuk menghangatkan tubuhnya.  
Tampak jari tengahnya mulai bergerak dan tidak lama matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dihampirinya sambil keningnya diberi pendingin. Sedikit dia terbatuk-batuk dan diberinya air minum lagi.
"Dimanakah ini? Pesawat itu jatuh yah!".
Suaranya pelan terdengar namun rautnya menampakan sedikit kecemasan. 
Pria ini hanya memandangnya diam dan terus menjaganya hingga setelah dua hari berada di jurang si korban ini terlihat sanggup bergerak akhirnya dia pangku orang itu menempuh jarak hingga 7 kilometer sampai  bertemu dengan rumah sakit.

Begitulah cerita Pria ini bertemu dengan Wanita yang sekarang jadi pasangan hidupnya. Sampai detik ini pun dia tidak ingin tahu kejadian kenapa pesawatnya jatuh saat itu dan tidak pernah dia ingin mengetahuinya. 
Baginya cukup sudah sesuatu yang bisa diambil dari petualangan itu sebab akhir kesabaran itu adalah kunci dari penderitaannya diantara hidup dan mati dan bagi istrinya sebuah pengalaman antara hidup dan mati sudah berakhir dahulu.
Dan ruang kosong itu adalah masih adalanya "keajaiban" dalam hidup ini.

No comments:

Post a Comment