Jaman sekarang, paling tidak sekali Anda mungkin pernah menemukan sebuah produk di supermarket yang berlabel “bebas gluten.”
Produk-produk yang diberi label demikian semakin banyak ditemukan dalam beberapa tahun belakangan ini, namun Anda mungkin belum tahu apa yang dimaksud dengan “bebas gluten’. Nyatanya, mungkin Anda tidak tahu pasti apa itu gluten.
Kata “gluten” dalam istilah tersebut cukup memberi definisi yang jelas. Pikirkan tentang gluten sebagai sebuah zat yang menyerupai lem yang membentuk struktur kenyal pada gandum (wheat) dan produk-produk lainnya.
Meski sains jauh lebih kompleks daripada definisinya, namun gluten bisa didefinisikan, dalam istilah sehari-hari, sebagai zat protein yang lengket yang terkandung dalam wheat.
Gluten ditemukan dalam lusinan produk-produk yang berbasis wheat. Gluten juga banyak terdapat di dalam gandum hitam (rye) dan juga havermut (oats) dan jelai (barley) (kabar buruk bagi peminum bir).
Related: 5 gluten-free beers
Struktur yang kenyal yang adalah gluten itu boleh jadi terasa enak bagi lidah kita, namun berbahaya bagi salah satu dari 200 orang yang diperkirakan mengalami penyakit seliaka, yang menurut Center for Celiac Disease Research di Universitas Maryland, adalah salah satu gangguan seumur hidup yang paling umum terdapat di negara-negara barat.
Orang yang menyandang penyakit seliaka menderita segudang penyakit lain, termasuk diare, sakit perut, dan kembung (bloating) dan simptom-simptom lain yang tergolong sebagai penyakit perut yang mengganggu (Irritable Bowel Syndrome (IBS)), yang kini dikenali oleh sebagian peneliti disebabkan oleh penyakit seliaka.
Pada orang yang menderita penyakit seliaka, gliadin, sebuah glycoprotein yang ditemukan di dalam gluten, menyerang usus kecil dan menyebabkan kerusakan pada usus kecil, yang bertugas menyerap nutrien tersebut. Sebagai akibat dari ketidakmampuan tubuh dalam menyerap vitamin dan mineral yang cukup, gangguan autoimmune bisa timbul.
Jika Anda sering menderita sakit kepala atau migraine, atau sering sakit, atau mengalami ruam kulit, maka boleh jadi Anda mengalami penyakit seliaka atau semacam intoleransi terhadap gluten.
Apa yang salah dengan gluten?
Menurut para ilmuwan selama ribuan tahun manusia bertahan dengan diet yang tidak mengandung apa-apa kecuali hewan buruan dan daging dan juga buah-buahan dan sayur-sayuran dan biji-bijian dan kacang-kacangan. Hanya setelah periode Neolithic (sekitar 9500 SM) baru manusia mulai menanam wheat.
Dalam istilah evolusi, masa semenjak wheat diperkenalkan ke dalam makanan modern baru terhitung sekejab mata.
Untuk membawa metafora itu lebih jauh, baru sepersekian dari sepersekian kejab mata makanan kita dipenuhi oleh banyak produk wheat dan produk sampingnya, yang semuanya mengandung gluten.
Perut kita tidak bisa begitu saja beradaptasi untuk mencerna gluten dan memecahnya menjadi asam amino individual.
Sekitar satu dari tujuh orang mengalami sensitifitas gluten—itu berarti 30 hingga 40 persen dari penduduk AS. Orang yang mengalami intoleransi gluten secara ilmiah dikenal sebagai Non-Celiac Gluten Sensitive (NCGS).
Dr. Vikki Petersen, pengarang sebuah buku baru, "The Gluten Effect," mengatakan bahwa salah satu dari misinya adalah untuk menghilangkan mitos bahwa jika Anda tidak mempunyai penyakit seliaka, maka Anda tidak perlu khawatir.
Jangan makan Wheat Thins dulu, katanya mengingatkan.
“Hanya karena Anda tidak mengalami atrofi vili (villous atrophy) di dalam usus kecil Anda tidak berarti gluten tidak menyebabkan efek merusak kesehatan Anda,” kata Petersen, seorang chiropractor dan nutrisionis klinis.
Dengan meningkatnya prevalensi gluten di dalam makanan kita, Petersen mengatakan kini ada peningkatan resiko genetika kita akan “memicu” sebuah respon anti-gliadin.
Hal ini, Petersen memperkirakan, tampaknya akan menimbulkan lebih banyak kasus penyakit seliaka dan gangguan autoimmune yang disebabkan oleh intoleransi gluten.
"Jika dikumpulkan jadi satu, gangguan-gangguan autoimmune merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di AS,” kata Petersen, “dan gluten adalah biang kerok utamanya.”
Petersen mengatakan bahwa di masa lalu, diperkirakan Anda mempunyai kecenderungan genetis terhadap intoleransi gluten dan penyakit seliaka atau Anda hanya tidak mengembangkannya. Penelitian dari tahun lalu saja, katanya, mengungkapkan bahwa boleh jadi ini bukanlah masalahnya.
Dia mencatat bahwa sejak tahun 1970-an, penyakit seliaka telah meningkat empat kali lipat dan penyakit tersebut masih tergolong langka setidaknya hingga tahun 1950-an.
Petersen mengatakan bahwa sehubungan meningkatnya dominasi racun di dalam lingkungan hidup kita dan di dalam rantai makanan, maka makanan bebas gluten tidak bisa dianggap sebagai makanan sehat begitu saja.
“Semakin banyak dan semakin banyak orang akan menderita akibat makanan yang mengandung gluten dan harus mengkonsumsi makanan yang 100 persen bebas gluten,” katanya.
Apakah bebas gluten saja sudah cukup?
“Kita harus berusaha untuk makan sebanyak mungkin makanan organik dan makanan alami untuk menjamin kesehatan kita tetap layak,” kata Petersen. “Ini termasuk meningkatkan jumlah sayuran dan karbohidrat kompleks yang bebas gluten seperti quinoa, millet dan beras cokelat.”
Akan tetapi, mengadopsi makanan bebas gluten tidak berarti bahwa mereka yang menderita penyakit seliaka dan sensitif terhadap gluten akan menjadi lebih sehat.
“Satu dari setiap tiga penderita penyakit seliaka tidak bisa sembuh,” kata Petersen.
Biang keroknya? Mengobati penyakit usus lebih dari sekedar mengubah kebiasaan makan cokelat batangan menjadi makanan kue cokelat bebas gluten.
“Ada efek sekunder dari gluten yang perlu dipertimbangkan, seperti sensitifitas makanan lain, seperti produk susu (dairy),” kata Petersen, yang merekomendasikan agar mereka yang mengalami penyakit seliaka atau NCGS diberi test untuk mengetahui adanya infeksi sekunder seperti parasit, tumbuh jamur berlebihan (yeast overgrowth), amoeba dan penyusup-penyusup digestif mikroskopik lain yang berbahaya.
Dia juga merekomendasikan untuk melakukan probiotik harian (human strain) dengan hitungan mikroorganisme sekurangnya 20 juta—lebih jika Anda mengalami infeksi.
Jangan banyak-banyak makan snack yang bebas gluten. Sebaliknya, perlakukan makanan tersebut sebagaimana Anda memperlakukan kesenangan lain yang beresiko: makan sekali-sekali saja. Jika Anda menderita kurang energi dan banyak masalah kesehatan lainnya dan cenderung makan banyak wheat dan makanan-makanan panggang, pertimbangkanlah untuk makan makanan yang bebas gluten.
Itulah mungkin yang disarankan dokter.
By Judd Handler
Judd Handler is a graduate of the Functional Diagnostic Nutrition program, a curriculum that includes testing for mucosal barrier integrity of the small intestine. His website isWellnessGuru4u.com