Saya masih ingat ketika berusia 8 tahun ada sebuah cerita yang saya dengar bahwa ketika saya masih bayi hingga umur 4 tahun saya tinggal bersama Nenek dan Kakek saya di sebuah kota kecil yang sejuk dan indah. Orang tua saya berada di seberang pulau pada saat itu karena bekerja-nya selalu berpindah- pindah di sebuah bank.
Pertemuan pertama dengan orang tua saya ketika saya diterbangkan naik pesawat sendiri yang dititipkan kepada seorang pramugari pesawat, karena dari pihak keluarga tidak ada yang bisa mendampingi dan masalah biaya, begitulah alasannya. Perjalanan di pesawat memakan waktu 3 jam dan akhirnya selamat sampai tujuan di kota tersebut. Di Bandara udara saya mendarat sudah ada orang yang menjemput yaitu seorang Ibu dan anak perempuan. Ibu itu mengatakan ke anak perempuannya bahwa sekarang dia punya adik, sambil tersenyum ke arah saya. Saat itu saya hanya terdiam bingung sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa- apa lalu kemudian saya menangis sangat keras dan mengatakan ingin pulang kembali ke rumah Nenek dan Kakek saya, saya tidak kenal dengan Ibu itu. Ibu ini menjadi panik saat melihat saya seperti itu. Ibu saya takut kalau dikira menculik anak orang. Akhirnya saya dibawa juga pulang ke rumah setelah pramugari-nya berbicara dan merayu saya hingga terdiam
Itulah cerita pertama.
Sejalan dengan waktu saya terbiasa dengan lingkungan mereka dan menjadi keluarga sebenarnya. Menurut mereka, keluarga saya itu adalah mereka. Namun saya tidak pernah tahu alasan kenapa sebelumnya saya di asuh oleh Nenek dan Kakek saya.
Tahun demi tahun berlalu namun perjalanan hidup saya tidak sempurna seperti yang saya bayangkan dari sebuah keluarga. Saya menjadi pendiam, terkadang saya merasa tidak menjadi bagian dari pembicaraan mereka layaknya sebuah keluarga yang bersatu dan harmonis. Namun saya berpikir biarlah saya belajar dari kekurangan hidup ini, mungkin karena saya seorang laki- laki yang cara mendidik dan perlakuannya juga berbeda dengan wanita. Semua orang sepertinya mengalami kalau ada perbedaan diantara kakak dan adik.
Masa kecil saya disekolah sedikit tidak menyenangkan, padahal saya tumbuh sehat tetapi banyak teman- teman saya yang berlaku tidak baik, seperti mengejek, mendorong saya. Padahal saya tidak pernah berbuat tidak baik kepada mereka. Tetapi itulah saya yang pendiam dan terlalu baik menjadi sasaran empuk bagi kaum yang lemah, saya pun hampir tidak tahu bagaimana cara bergaul dan bermain dengan anak- anak seusia saya. Sepertinya saya terbelenggu dengan masalah sejak awal. Dan saya terus mencari apa penyebabnya.
Ketika selesai sekolah saya melanjutkan sekolah lagi ke kota lain, dimana jaraknya dari kota saya sekitar 4 jam memakai kendaraan. Ketika sekolah saya hampir selesai tiba- tiba saya tidak pernah dikirim lagi biaya sekolah dan biaya sehari- hari seperti untuk makan, biaya sewa rumah. Disaat saya menerima semua keadaan itu maka saya harus mencari uang sendiri dengan cara membuat buku skripsi teman- teman, menjilid, mengetik yang upahnya tidaklah besar, hanya cukup untuk makan saja. Saya bahkan sudah tidak punya tempat untuk tidur lagi sebab saya sudah tidak mampu lagi untuk membayar sewa kamar, jadi saya ikut tidur di rumah sahabat saya dan terkadang harus pindah- pindah. Saya pun mempunyai banyak hutang hanya untuk makan ke warung Ibu renta itu, namun Beliau sangat baik dan tidak pernah menagih uang makan kepada saya. Beliau sangat mengerti dengan keadaan saya. kalau ada uang saya bayar dan kalau tidak cukup bantu- bantu Beliau seperti cuci piring dan mengepel lantai
.
Ayah saya mengatakan bahwa saya harus belajar keras, agar mandiri agar nanti-nya bisa berhasil dikemudian hari. Itulah alasan kenapa orang tua saya tidak membayar biaya hidup saya.
Ketika kita dihimpit kesulitan, waktu berjalan lambat, setiap hari merupakan perjuangan agar bisa makan dan tidur dengan tenang. Saya masih bisa bertahan dan percaya bahwa Tuhan yang selalu melindungi saya. Hempasan demi hempasan dilalui dan ketika saya sudah menyelesaikan sekolah, saya mulai melamar bekerja. Hari demi hari yang terik membuat keringat bercucuran mencari tempat untuk bisa bekerja, langkah ini menjadi ragu apakah saya bisa melewati semua ini? Namun semua itu bisa saya lalui karena kesabaran. Saya menerima hidup saat itu dan membuat saya semakin tegar bahkan yakin setelah ada kesulitan maka akan ada kemudahan dalam urusan dan itu yang saya yakini. Sampai pada titik terendah pun saya masih bisa bersabar menerima semua ini. betapa hidup ini luar bisa beratnya.
dengan kesabaran inilah saya masih bisa melihat dunia yang ada didepan saya jernih walaupun bagai fatamorgana. Setiap suara- suara yang saya dengar seperti sebuah alunan musik yang merdu, ketika saya punya uang atau tidak, saya masih bisa menikmatinya, karena setiap jengkal langkah ini saya selalu tarik nafas dan bersyukur. Mungkin saya masih beruntung karena saya yakin banyak orang- orang yang lebih susah dari saya. Sekali lagi masa remaja saya tidaklah menyenangkan juga, banyak sekali tekanan yang menghimpit dan membuat saya justru berpikir keras dan menjadi tegar. Saya tidak pernah menikmati masa bergaul bersama teman, berkumpul seperti itu, sebagian waktu saya hanya untuk mencari uang demi sesuap makanan, apalagi saya harus menjalin hubungan dengan wanita, sepertinya saya kurang disukai menurut mereka. Tahu sendiri kan "no money, no honey"
Bertemulah saya dengan teman lama yang ternyata dia sudah bekerja di sebuah perusahaan. Dan saya sangat tertarik ingin bekerja seperti dia yang kelihatan hidupnya mapan. Beberapa waktu kemudian saya mencoba melamar ke perusahaan itu dengan hanya berbekal uang seadanya yang sudah habis setengahnya dipakai bayar bis kota. Uang saya hanya tersisa untuk pulang saja. Jadi makan siang saya lewati. Setelah lamaran dimasukan kemudian saya disuruh menunggu dan 3 jam kemudian saya disuruh pulang dan mereka akan menghubungi saya. "Oh Tuhan yang Agung, berikanlah saya kesabaran yang melimpah saat ini". Saya harus pulang kembali ke kota saya yang memakan waktu 3 jam dan uang saya hanya tersisa sedikit. Mau dikata apa lagi, saya harus pulang dulu dan menunggu panggilan. Menjelang malam di perjalanan saya tertidur dan terbangun ketika sang sopir menepuk pundak saya ternyata sudah tiba di terminal bis.
Akhirnya saya diterima juga setelah melalui proses panjang dan memakan waktu yang lumayan lama, namun saya harus pindah lagi ke kota ini,dan berita buruknya adalah Perusahaan mengharuskan saya bekerja besok pagi. Saya terpaksa harus pulang lagi dan rencana-nya besok mau pinjam uang kepada teman untuk biaya transportasi dan mencari rumah sewaan.
Pagi sekali saya sudah berkemas dengan hanya membawa tas kecil yang dalam-nya hanya beberapa potong pakaian saja yang saya punya. Dari sinilah awal saya mulai menata hidup baru yang sudah saya perjuangkan sekuat tenaga.
Setelah bekerja beberapa waktu, saya mendapatkan peningkatan dalam taraf hidup. Saya menikmati setiap pendapatan yang saya dapat. Tidak lupa selalu berbagi juga kepada orang miskin yang membutuhkan. bahkan karir saya naik hingga Manager, yang artinya saya mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Jadi rupanya beginilah hidup yang sahabat saya alami saat itu, dengan kerja keras, keberuntungan, kesabaran, rejeki dari Tuhan, maka saya bisa menjalaninya dengan baik.
Kini saya terus menikmati hasil jerih payah ini bersama keluarga saya. Saya mendapatkan istri yang cantik dan baik, begitu juga anak- anak yang baik dan lucu. Tidak lupa saya ajarkan ke keluarga saya sebuah arti kesabaran dan itu adalah kunci menuju kesuksesan.
Dalam kenyataannya, saya hanyalah seorang manusia yang sedikit beruntung karena kesabaran saya selama itu. Namun saya masih mencari sebuah jawaban yang akan terus saya cari dan cari. Hidup ini akan hampa kalau kita tidak pernah tahu siapa diri kita sebenarnya. Namun janganlah kita hidup dari masa lalu, Tuhan pun membuat mata dan muka kita ke depan, agar kita selalu senantiasa memandang ke depan saja.
No comments:
Post a Comment